Analisis Yuridis Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000: Menelisik Kasus Pelanggaran HAM dalam Pembunuhan Munir Said Thalib
27 August 2025

fatika

Magelang, 27 Agustus 2025 – Sebuah penelitian hukum dari Universitas Muhammadiyah Magelang mengungkapkan kelemahan serius dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penelitian berjudul “Analisis Yuridis Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Pelanggaran HAM Pembunuhan Munir Said Thalib)” ini ditulis oleh Desia Luluatussholihah, mahasiswa Fakultas Hukum yang menyoroti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai cermin buram penegakan hukum di Indonesia.

Munir Said Thalib, seorang pejuang hak asasi manusia yang dikenal lantang menentang praktik kekerasan negara, tewas diracun dalam penerbangan menuju Belanda pada 2004. Kasus ini menimbulkan guncangan besar, baik di tingkat nasional maupun internasional, namun hingga kini status hukumnya masih diperdebatkan. Negara hanya menjerat pelaku dengan pasal pembunuhan berencana dalam KUHP, sementara dugaan kuat adanya kejahatan terhadap kemanusiaan tidak pernah diuji dalam Pengadilan HAM.

Di sinilah penelitian Desia menemukan relevansinya. Ia menelaah secara khusus Pasal 9 UU No. 26/2000, pasal yang merinci bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan jika dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil. Penelitian ini menyorot frasa “serangan yang meluas atau sistematik” sebagai inti perdebatan hukum yang kerap menjadi penghalang pengklasifikasian kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

Melalui pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kasus, penelitian ini menelusuri konstruksi hukum yang berlaku, membandingkannya dengan jalannya persidangan, dan menghubungkannya dengan teori tujuan hukum Gustav Radbruch—yang menempatkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagai tiga pilar utama.

Tujuan penelitian ini jelas: pertama, menganalisis apakah pembunuhan Munir dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Pasal 9; kedua, menafsirkan secara yuridis frasa “meluas atau sistematik” dalam konteks kasus ini; dan ketiga, mengidentifikasi hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tak berjalan sebagaimana mestinya.

Hasil penelitian menegaskan bahwa pembunuhan Munir memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Indikasi keterlibatan aparat, modus operandi yang terencana rapi, serta dampak psikologis berupa teror terhadap kalangan pegiat HAM menjadi bukti bahwa peristiwa ini tidak sekadar tindak pidana biasa. Menurut Desia, seharusnya kasus Munir diproses di bawah yurisdiksi Pengadilan HAM, bukan semata diadili dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Namun, realitas hukum berkata lain. Penelitian ini mengungkap bahwa kelemahan UU 26/2000 justru membuka celah tafsir yang luas. Frasa “meluas atau sistematik” tidak didefinisikan secara jelas, sehingga aparat penegak hukum enggan memasukkan kasus Munir sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih jauh, tidak adanya hukum acara khusus peradilan HAM membuat hasil penyelidikan Komnas HAM sering mentok di meja Kejaksaan tanpa kejelasan tindak lanjut.

Hambatan lain yang terungkap adalah lemahnya kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga pro-yustisia. Meski diberi mandat menyelidiki pelanggaran HAM berat, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan memaksa untuk menghadirkan saksi atau mengakses dokumen penting. Hal ini ditambah dengan problem independensi lembaga dan kuatnya intervensi politik dalam perkara Munir. Akibatnya, pengungkapan aktor intelektual di balik pembunuhan ini tidak pernah sampai ke pengadilan.

Penelitian ini juga menilai bahwa kelemahan hukum tersebut telah meruntuhkan asas kepastian hukum. Mengutip teori Radbruch, hukum yang tidak memberikan kepastian justru berpotensi meniadakan keadilan. Kasus Munir adalah contoh nyata: keadilan tidak tercapai, kepastian hukum kabur, dan manfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan kebenaran substantif pun sirna.

Sebagai penutup, Desia merekomendasikan beberapa langkah strategis: amandemen terhadap UU 26/2000 agar lebih tegas dalam merumuskan unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan; pembentukan hukum acara khusus peradilan HAM; serta penguatan independensi Komnas HAM agar lebih efektif dalam menjalankan fungsi penyelidikan. Tak kalah penting, ia mendorong agar pembunuhan Munir ditetapkan secara resmi sebagai pelanggaran HAM berat dan dibawa ke Pengadilan HAM.

Melalui penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan jelas: kasus Munir bukan sekadar tragedi personal, melainkan ujian besar bagi konsistensi negara dalam menegakkan hak asasi manusia. Tanpa keberanian membenahi aturan hukum, tragedi serupa berpotensi terulang, dan cita-cita menjadikan hukum sebagai panglima keadilan akan terus dipertanyakan.(ed : fatikakh)

Sumber : repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut

  • VIPBET88 menjadi situs judi bola online terpercaya yang menawarkan kenyamanan bermain via mobile serta layanan resmi untuk setiap member.
  • VIPBET88 menjadi pilihan tepat situs SBOBET88 online terpercaya dengan keamanan tinggi, layanan profesional, dan bonus eksklusif setiap hari.
  • VIPBET88 adalah link terbaru dari situs judi bola online resmi dari provider sbobet88 yang merupakan agen taruhan bola terbaik tahun 2025 memiliki ratusan pilihan game judi bola yang dapat dimainkan.
  • VIPBET88 merupakan pusat judi bola online resmi Sbobet88 dengan akses link terbaru, fitur modern, dan layanan profesional sepanjang waktu.