Magelang 27 Agustus 2025 – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja. Hilangnya mata pencaharian tidak hanya menimbulkan masalah ekonomi, tetapi juga memunculkan keresahan sosial yang lebih luas. Terlebih ketika PHK dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Fenomena inilah yang menjadi fokus penelitian Naufal Wishaal Almaasa, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, melalui karyanya berjudul “Gugatan Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Oleh Perusahaan”.
Dalam penelitiannya, Naufal berangkat dari keprihatinan terhadap praktik PHK yang sering kali dilakukan secara sewenang-wenang. Ia menyoroti kasus nyata, salah satunya yang terjadi pada PT. Tunas Artha Gardatama. Perusahaan tersebut melakukan pemutusan hubungan kerja hanya melalui pesan singkat WhatsApp, tanpa peringatan maupun prosedur formal yang seharusnya ditempuh. Tindakan itu berakhir di meja hijau setelah karyawan yang dirugikan mengajukan gugatan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini tidak berhenti pada kritik, tetapi mengarahkan pandangan ke tujuan yang lebih konkret. Naufal berusaha mengurai prosedur pemutusan hubungan kerja yang sah menurut hukum serta meneliti akibat hukum dari PHK sepihak, terutama jika perjanjian kerja belum berakhir. Ia ingin menunjukkan bahwa setiap PHK harus melalui mekanisme hukum yang jelas, bukan keputusan sepihak perusahaan yang kerap merugikan pihak pekerja.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan memberikan pemahaman lebih luas kepada masyarakat, khususnya pekerja, agar menyadari hak-hak mereka. Dengan demikian, pekerja tidak hanya pasrah ketika diperlakukan tidak adil, melainkan memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut keadilan.
Metode dan Kerangka Hukum
Dalam menggali temuannya, Naufal menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif. Sumber datanya berasal dari studi kepustakaan serta wawancara dengan pihak terkait, mulai dari serikat pekerja hingga pejabat Dinas Tenaga Kerja. Analisis dilakukan secara deduktif menggunakan metode silogisme hukum, dengan membandingkan aturan normatif dan praktik di lapangan.
Landasan hukum yang dipakai antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Selain itu, penyelesaian sengketa diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian Naufal menunjukkan bahwa PHK sepihak jelas bertentangan dengan hukum. Setiap pemutusan hubungan kerja harus melewati prosedur, mulai dari perundingan bipartit, mediasi di Dinas Tenaga Kerja, hingga penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) jika jalan damai tidak tercapai.
Namun, dalam praktiknya masih banyak perusahaan yang mengabaikan aturan tersebut. Akibatnya, timbul sengketa yang berujung pada gugatan pekerja. Putusan pengadilan dalam kasus-kasus seperti ini umumnya menyatakan bahwa perusahaan tetap wajib memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada pekerja, meskipun hubungan kerja tidak lagi bisa dipertahankan.
Salah satu putusan penting yang dikaji adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 134/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Sby, di mana pengadilan menegaskan bahwa PHK yang dilakukan tidak sesuai prosedur berimplikasi pada kewajiban perusahaan membayar hak-hak pekerja secara penuh.
Kesimpulan dan Saran
Dari penelitiannya, Naufal menyimpulkan bahwa PHK sepihak sebelum berakhirnya masa perjanjian kerja adalah perbuatan yang menimbulkan konsekuensi hukum serius. Perusahaan tidak hanya melanggar ketentuan undang-undang, tetapi juga berpotensi menanggung beban ganti rugi yang besar.
Sebagai saran, Naufal menekankan pentingnya pengawasan ketat dari pemerintah terhadap praktik ketenagakerjaan. Ia juga mendorong pekerja agar lebih memahami hak-haknya dan tidak ragu untuk menggugat apabila diperlakukan tidak adil. Di sisi lain, perusahaan diingatkan untuk mengedepankan musyawarah dan menghormati prosedur hukum, bukan sekadar mencari jalan pintas yang justru berisiko.
Penutup
Penelitian ini menjadi alarm bagi dunia usaha sekaligus suara pembelaan bagi pekerja. PHK memang terkadang tidak bisa dihindari, terutama dalam kondisi sulit. Namun, ketika keputusan diambil secara sepihak tanpa dasar hukum, maka yang terjadi bukan hanya pemutusan kontrak, melainkan pemutusan harapan hidup seorang pekerja.
Dengan demikian, penelitian Naufal Wishaal Almaasa bukan sekadar tugas akademik, tetapi cermin dari perjuangan mencari keadilan di dunia kerja yang kerap timpang. Sebuah pengingat bahwa hukum hadir bukan untuk satu pihak saja, melainkan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan hak-hak pekerja. (ed : noviyanti)
sumber : repository UNIMMA