Magelang, 25 Agustus 2025 – Di tengah semakin tingginya kebutuhan pakan ikan yang berkualitas dan murah, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang, Rendra Davidsyah, berhasil merancang sebuah inovasi sederhana namun bermanfaat besar: mesin sangrai maggot dengan tipe rotary. Penelitian ini ia lakukan sebagai syarat menyelesaikan studi sarjana di Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik.
Rendra melihat persoalan nyata di lapangan. Di Temanggung dan Magelang, banyak peternak kecil yang membudidayakan maggot Black Soldier Fly sebagai pakan ikan. Maggot dipilih karena murah, bernutrisi tinggi, dan bisa dikembangkan dengan infrastruktur sederhana. Namun, ada satu kendala: proses pengeringan atau penyangraian maggot masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan menggunakan pasir di atas wajan. Cara ini membuat hasil maggot kering tidak sempurna—masih lembab, bahkan sering gosong—yang akhirnya menurunkan kualitas dan harga jual.
Berangkat dari masalah tersebut, Rendra merancang alat sangrai otomatis berbentuk rotary dryer. Mesin ini bekerja dengan sistem tabung berputar konstan, memanfaatkan panas dari tungku biomassa atau kompor, serta didukung motor listrik berdaya rendah. Dengan sistem rotary, maggot diputar merata sehingga tingkat kematangan lebih sempurna tanpa harus diaduk manual.
“Keunggulan mesin ini adalah bisa berputar cepat dan konstan dengan perbandingan 1:1 antara maggot dan media pasir, serta hemat energi listrik. Jadi cocok untuk usaha rumah tangga,” jelas Rendra dalam penelitiannya.
Hasil uji coba menunjukkan, mesin ini mampu mengeringkan maggot dengan laju 75 gram per menit. Dengan kapasitas 3 kilogram maggot basah, alat ini bisa menghasilkan 4,5 kilogram maggot kering hanya dalam satu jam. Jika dioperasikan sehari penuh, produksi bisa mencapai 22,5 kilogram maggot kering. Angka ini jauh lebih efisien dibanding cara tradisional yang memakan waktu hingga berjam-jam.
Dari sisi ekonomi, Rendra menghitung bahwa investasi mesin ini tergolong layak. Titik impas (BEP) alat tercapai ketika penjualan mencapai 94,72 kilogram maggot kering. Dengan kapasitas produksi harian, biaya investasi bisa kembali hanya dalam waktu sekitar 7 hari. Lebih jauh, analisis NPV (Net Present Value) menunjukkan angka positif sebesar Rp4.090.000, yang artinya mesin ini memberikan keuntungan lebih besar dibanding modal yang dikeluarkan.
Inovasi ini diharapkan bisa membantu para peternak ikan dan UMKM pengelola maggot di pedesaan. Dengan alat sederhana, murah, dan hemat energi, kualitas maggot yang dihasilkan akan lebih baik, harga jual lebih tinggi, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani maupun peternak kecil.
Penelitian ini juga menegaskan bahwa solusi teknologi tidak selalu harus rumit atau mahal. Justru, inovasi yang lahir dari masalah sehari-hari seringkali lebih tepat guna. Mesin sangrai maggot rotary karya Rendra adalah contohnya: sederhana, efektif, dan aplikatif.
Ke depan, Rendra berharap ada pengembangan lebih lanjut, misalnya dengan menambah sistem kontrol suhu otomatis atau memodifikasi kapasitas agar lebih besar. Namun, untuk saat ini, rancangan yang ia hasilkan sudah cukup untuk menjawab kebutuhan para peternak skala kecil hingga menengah.
Dengan adanya inovasi ini, masalah klasik “maggot gosong” atau “maggot lembab” bisa diatasi. Para petani ikan kini berpeluang mendapatkan pakan yang lebih berkualitas tanpa harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga.
Kisah Rendra Davidsyah membuktikan bahwa penelitian mahasiswa bukan sekadar formalitas akademik, melainkan bisa memberikan dampak nyata bagi masyarakat sekitar. Dari bengkel sederhana di Temanggung, lahirlah sebuah inovasi kecil yang bisa membawa perubahan besar bagi dunia perikanan rakyat. editor : Yunda Sara