Magelang, 26 Agustus 2025 – Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pondasi emas yang menentukan kualitas generasi bangsa. Namun, di balik idealisme tersebut, pengelolaan PAUD di lapangan kerap menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Fakta inilah yang diungkap Ismuningsih, peneliti Universitas Muhammadiyah Magelang, lewat penelitiannya berjudul “Evaluasi Pengelolaan PAUD dengan Model Context, Input, Process, Product (CIPP) di Kapanewon Kalasan Kabupaten Sleman.”
Penelitian yang dilakukan di tiga lembaga PAUD Raudhatul Athfal, Taman Kanak-Kanak, dan Kelompok Bermain ini berupaya memberikan gambaran nyata bagaimana pengelolaan pendidikan anak usia dini dijalankan. Dengan metode evaluatif kualitatif dan teknik purposive sampling, Ismuningsih meneliti manajemen pembelajaran melalui empat sudut pandang utama: konteks, input, proses, dan produk.
Tujuan dari penelitian ini jelas, yakni memberikan informasi menyeluruh mengenai hasil evaluasi pengelolaan PAUD di Kalasan, untuk kemudian menjadi dasar dalam meningkatkan kualitas layanan.
Hasil penelitian menunjukkan, dari sisi konteks, pengelolaan PAUD di Kalasan sudah berjalan sesuai kebutuhan masyarakat. Kurikulum disusun berdasarkan visi, misi, dan tujuan lembaga, sehingga arah program pendidikan jelas. Begitu pula dalam hal input, lembaga PAUD telah menyiapkan perangkat pembelajaran, tenaga pendidik, dan sarana dasar untuk menunjang kegiatan belajar.
Namun, masalah mulai muncul ketika evaluasi diarahkan pada aspek proses. Di sini, Ismuningsih menemukan sejumlah ketidaksesuaian. Pemilihan model belajar masih monoton, sumber belajar terbatas, media pembelajaran kurang variatif, dan keterampilan pedagogik guru dinilai belum sepenuhnya optimal. Tidak hanya itu, ketersediaan sarana belajar seperti loose parts alat bermain kreatif yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak masih minim.
Kendala dalam proses ini kemudian berdampak pada aspek produk. Meski anak-anak tetap mengalami perkembangan kognitif, sosial, dan bahasa, capaian hasil belajar belum sepenuhnya maksimal. Salah satu penyebabnya adalah adanya aturan SOP Pertemuan Tatap Muka yang cukup mengikat, sehingga membatasi ruang gerak guru dalam berinovasi dengan model pembelajaran yang lebih fleksibel dan kreatif.
“Secara umum PAUD di Kalasan sudah berjalan baik, tetapi masih ada catatan penting pada proses dan hasil belajar. Guru perlu lebih kreatif, media belajar harus diperbanyak, dan sarana bermain anak harus lebih lengkap,” ujar Ismuningsih ketika memaparkan temuannya.
Dalam kesimpulannya, Ismuningsih menilai bahwa pengelolaan PAUD di Kalasan memiliki fondasi kuat pada konteks dan input, tetapi masih rapuh pada proses dan produk. Hal ini berarti lembaga sudah memiliki arah yang jelas dan sumber daya yang cukup, namun belum sepenuhnya mampu menerjemahkan itu menjadi praktik pembelajaran yang optimal di kelas.
Ia pun menegaskan, evaluasi bukanlah ajang mencari kesalahan, melainkan jalan menuju perbaikan. “Evaluasi harus dipahami sebagai sarana refleksi bersama. Dengan begitu, PAUD bisa lebih baik dalam mendidik generasi emas bangsa,” tambahnya.
Penelitian ini memberikan pesan penting bagi pemerintah daerah dan pengelola lembaga pendidikan: keberhasilan PAUD tidak cukup hanya ditunjukkan oleh dokumen kurikulum atau visi-misi, tetapi harus tercermin nyata dalam praktik sehari-hari.
Lebih dari itu, penelitian ini juga mengingatkan bahwa investasi terbaik bangsa adalah pada pendidikan usia dini. Dari ruang kelas sederhana di Kalasan inilah masa depan Indonesia sedang ditempa. Dengan pengelolaan yang lebih baik, PAUD tidak hanya akan melahirkan anak-anak yang siap masuk sekolah dasar, tetapi juga generasi tangguh yang siap menghadapi tantangan zaman. (ed. Shofak)
Sumber: Repositori UNIMMA