Magelang 27 Agustus 2025 – Dalam dunia pelayanan kesehatan, perawat menjadi garda terdepan yang menentukan mutu layanan rumah sakit. Sebagai tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan pasien, perawat dituntut untuk bekerja dengan penuh dedikasi, kecepatan, dan ketelitian. Namun, seberapa jauh gaya kepemimpinan seorang kepala ruangan dan tingkat motivasi individu perawat memengaruhi kinerja mereka? Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh Lutfi Nur Annisa, peneliti dari Universitas Muhammadiyah Magelang.
Dalam penelitiannya, Lutfi mengangkat tema hubungan gaya kepemimpinan dan motivasi dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Lestari Raharja, Kota Magelang. Ia menekankan bahwa kinerja perawat tidak bisa dilepaskan dari faktor lingkungan kerja, khususnya gaya kepemimpinan atasan yang mampu mengarahkan, membimbing, sekaligus memberi teladan. Selain itu, motivasi kerja—baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik—juga menjadi unsur penting yang mendorong perawat untuk bekerja optimal.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana gaya kepemimpinan dan motivasi berhubungan dengan kinerja perawat pelaksana di RS Lestari Raharja Magelang. Pertanyaan ini penting, sebab banyak rumah sakit masih berfokus pada peningkatan sarana-prasarana tanpa menaruh perhatian cukup pada aspek sumber daya manusia. Padahal, pelayanan kesehatan yang prima hanya dapat terwujud bila tenaga medis, khususnya perawat, memiliki semangat kerja tinggi yang ditopang oleh kepemimpinan efektif.
Penelitian Lutfi menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional, melibatkan 43 responden perawat pelaksana. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang mengukur gaya kepemimpinan kepala ruang, tingkat motivasi, serta kinerja perawat dalam menjalankan tugasnya. Analisis data dilakukan dengan uji statistik menggunakan SPSS.
Hasilnya cukup menarik. Penelitian ini menemukan adanya hubungan signifikan antara gaya kepemimpinan dan kinerja perawat, dengan nilai p=0,014 (p<0,05) serta korelasi r=0,374. Artinya, kepala ruang yang menerapkan gaya kepemimpinan demokratis—memberikan kesempatan bagi perawat untuk berpendapat, mendengarkan masukan, serta menumbuhkan rasa kebersamaan—terbukti mampu meningkatkan kinerja bawahannya. Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter cenderung menurunkan semangat kerja, sebab perawat merasa kurang dihargai dan terbebani dengan instruksi sepihak.
Selain itu, Lutfi juga membuktikan bahwa motivasi kerja berperan besar dalam memengaruhi kinerja perawat. Analisis menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) dengan koefisien korelasi r=0,621, yang menandakan hubungan kuat antara motivasi dan kinerja. Perawat yang memiliki motivasi tinggi—baik karena dorongan internal seperti rasa tanggung jawab dan panggilan hati, maupun karena faktor eksternal seperti penghargaan dan dukungan manajemen—menunjukkan performa kerja yang lebih baik. Mereka lebih disiplin, sigap, serta mampu memberikan pelayanan yang sesuai standar rumah sakit.
Kesimpulan yang ditarik Lutfi cukup jelas: kepemimpinan yang baik dan motivasi yang kuat adalah dua pilar penting dalam meningkatkan kinerja perawat. Tanpa kepemimpinan yang mampu mengayomi serta memotivasi, sulit berharap tenaga perawat dapat bekerja optimal. Dengan temuan ini, ia mendorong pihak rumah sakit agar lebih memperhatikan pola kepemimpinan kepala ruang serta strategi peningkatan motivasi perawat, misalnya melalui pelatihan, penghargaan, dan komunikasi yang efektif.
Penelitian Lutfi Nur Annisa ini menegaskan bahwa keberhasilan pelayanan kesehatan adalah hasil dari sinergi antara kepemimpinan yang efektif dan semangat kerja yang menyala. Sebuah pelajaran berharga, tidak hanya bagi manajemen rumah sakit, tetapi juga bagi seluruh tenaga kesehatan yang ingin memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. (ed : noviyanti)
sumber :repository UNIMMA