Magelang 25 Agustus 2025 – Fenomena penggunaan kosmetik pemutih wajah di kalangan mahasiswi menarik perhatian seorang peneliti muda, Suci Karunia Dewi, mahasiswa Program Studi D-III Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Muhammadiyah Magelang. Melalui karya tulis ilmiahnya yang disusun tahun 2023, Suci meneliti secara mendalam tingkat pengetahuan, cara pemilihan, serta penggunaan kosmetik pemutih wajah pada mahasiswi FIKES Unimma angkatan 2021.
Latar Belakang
Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa kulit putih masih dianggap standar kecantikan ideal di Indonesia. Hal tersebut memicu banyak perempuan muda, termasuk mahasiswa, untuk menggunakan produk pemutih wajah. Namun, tidak jarang produk tersebut mengandung bahan berbahaya seperti merkuri atau hidrokuinon dalam kadar berlebih. Suci menilai kondisi ini perlu diteliti, mengingat mahasiswi merupakan kelompok yang rentan sekaligus potensial dalam pasar kosmetik.
“Mahasiswi usia 17–25 tahun cenderung terpapar tren kecantikan, dan sering kali tidak teliti dalam memilih produk,” tulis Suci dalam penelitiannya. Karena itu, ia ingin mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan mahasiswi dalam menilai legalitas, kemasan, kandungan bahan, hingga efek samping dari produk pemutih wajah, serta bagaimana perilaku mereka dalam menggunakan produk tersebut.
Tujuan dan Metode
Tujuan utama penelitian ini adalah menggambarkan tingkat pengetahuan serta pola penggunaan kosmetik pemutih wajah di kalangan mahasiswi FIKES Unimma. Suci menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan instrumen kuesioner. Dari total populasi, ia mengambil 102 responden dengan teknik purposive sampling sesuai kriteria yang telah ditentukan. Data kemudian dianalisis menggunakan skala Guttman dan disajikan dalam kategori baik, cukup, atau kurang.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan temuan menarik. Dari sisi pengetahuan, 81,4% mahasiswi memiliki tingkat pengetahuan baik mengenai pemilihan kosmetik pemutih wajah. Mereka sudah memahami pentingnya izin edar dari Badan POM, memperhatikan label, manfaat produk, serta cara penyimpanan. Namun, masih ada sekitar 18,6% yang pengetahuannya hanya berada pada kategori cukup.
Sementara itu, dari aspek penggunaan, sebagian besar responden memilih produk yang relatif aman. Sebanyak 79,4% responden menggunakan produk pemutih wajah yang berasal dari produk komersial berizin resmi. Menariknya, sumber informasi terbesar terkait kosmetik justru datang dari media sosial (81,4%), bukan dari tenaga kesehatan. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh dunia digital terhadap keputusan konsumen muda.
Dari segi tempat pembelian, 63,7% responden memperoleh kosmetik melalui toko online. Durasi penggunaan didominasi 1–6 bulan (75,5%). Adapun alasan penggunaan cukup beragam, namun mayoritas karena mengikuti saran teman, keluarga, hingga beauty vlogger (64,7%). Yang cukup menggembirakan, mayoritas responden menyatakan tidak mengalami efek samping dari penggunaan produk (81,4%).
Analisis dan Pembahasan
Suci menilai hasil penelitian ini menggambarkan bahwa mahasiswi FIKES Unimma relatif sudah memiliki pengetahuan yang baik mengenai pemilihan kosmetik. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan kesehatan yang mereka tempuh. Namun demikian, tingginya pengaruh media sosial dalam keputusan membeli produk kecantikan tetap menjadi perhatian.
“Media sosial kini menjadi rujukan utama mahasiswa dalam memilih kosmetik, bukan tenaga kesehatan atau sumber ilmiah. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kesalahan informasi jika tidak ada filter yang tepat,” jelas Suci.
Ia juga menekankan pentingnya peran tenaga kefarmasian, khususnya apoteker, untuk memberikan konseling mengenai keamanan kosmetik. Pengetahuan yang baik memang mendorong perilaku yang lebih selektif, namun masih ada kelompok mahasiswa yang menggunakan kosmetik tanpa memperhatikan aspek legalitas dan kandungan bahan.
Kesimpulan dan Implikasi
Penelitian Suci Karunia Dewi menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswi FIKES Unimma dalam memilih kosmetik pemutih wajah tergolong baik, dan perilaku penggunaan mereka relatif aman. Namun, faktor pengaruh sosial – baik dari media maupun lingkungan – masih menjadi pendorong utama dalam keputusan menggunakan produk kecantikan.
Penelitian ini memberikan pesan penting bahwa edukasi mengenai kosmetik harus terus digencarkan. Kampus, tenaga kesehatan, dan instansi terkait diharapkan memperkuat sosialisasi agar mahasiswa semakin kritis terhadap produk yang mereka gunakan. Suci pun menegaskan, “Cantik boleh saja, tetapi jangan sampai kesehatan dikorbankan hanya demi penampilan.”
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya menambah wawasan akademis, tetapi juga menghadirkan refleksi sosial bahwa kecantikan seharusnya tidak ditentukan oleh warna kulit semata, melainkan oleh kesadaran menjaga kesehatan kulit dengan cara yang aman dan bijak.