Magelang, 26 Agustus 2025 – Media sosial kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, khususnya bagi generasi muda. Instagram, sebagai salah satu platform paling populer, bukan hanya dipakai untuk berbagi momen dan hiburan, tetapi juga kerap menjadi arena perbandingan penampilan fisik antar penggunanya. Fenomena inilah yang mendorong Azlin Nisa, peneliti dari Fakultas Psikologi dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Magelang, untuk meneliti secara khusus pengaruh upward comparison terhadap body image mahasiswi pengguna aktif Instagram.
Dalam laporannya, Azlin Nisa menjelaskan bahwa upward comparison adalah perilaku membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih unggul, misalnya selebriti, influencer, atau bahkan teman sebaya yang menampilkan tubuh ideal di Instagram. “Kecenderungan ini bisa berdampak negatif karena membuat individu merasa tidak puas dengan dirinya sendiri,” ungkap Azlin.
Penelitian ini berangkat dari fenomena nyata di kalangan mahasiswi. Dari riset pendahuluan kepada 20 responden pengguna aktif Instagram, ditemukan bahwa 16 orang di antaranya merasa tidak puas dengan bentuk tubuh setelah melihat unggahan orang lain. Mereka merasa insecure, menganggap dirinya terlalu gemuk atau kurang menarik, hingga memutuskan diet ketat karena ingin menyesuaikan diri dengan standar tubuh ideal yang mereka lihat di media sosial.
Bertolak dari temuan awal tersebut, Azlin Nisa kemudian melakukan penelitian lebih luas dengan melibatkan 369 responden mahasiswi Universitas Muhammadiyah Magelang. Peneliti menggunakan skala upward comparison dan skala body image yang disebarkan secara online. Data kemudian dianalisis menggunakan uji regresi linier sederhana melalui aplikasi SPSS versi 25.
Hasil penelitian menunjukkan temuan penting: ada pengaruh negatif signifikan antara upward comparison dan body image mahasiswi pengguna aktif Instagram. Nilai signifikansi yang diperoleh adalah p = 0,000 (p < 0,05) dengan nilai R Square 0,144. Artinya, upward comparison memengaruhi body image sebesar 14,4 persen, sementara sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar penelitian ini.
“Semakin sering mahasiswi membandingkan dirinya dengan orang lain yang dianggap lebih ideal di Instagram, semakin rendah pula penilaian positif mereka terhadap tubuhnya sendiri,” jelas Azlin Nisa dalam kesimpulannya.
Temuan ini menjadi alarm serius karena dampak negatif upward comparison tidak hanya sebatas rasa minder atau kurang percaya diri, tetapi bisa meluas ke masalah psikologis yang lebih berat. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa perbandingan sosial ke atas dapat memicu stres, kecemasan berlebih, hingga risiko gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia.
Selain itu, mayoritas responden ternyata menghabiskan waktu cukup lama di Instagram. Sebanyak 43,9 persen dari mereka menggunakan Instagram selama 3–5 jam per hari, bahkan ada 2,7 persen yang tercatat menggunakan lebih dari 10 jam sehari. Intensitas penggunaan yang tinggi membuat peluang terjadinya upward comparison semakin besar, sehingga berdampak langsung pada kesehatan mental.
Bagi dunia akademik, penelitian ini mempertegas teori bahwa media sosial memiliki peran besar dalam pembentukan citra tubuh seseorang. Bagi masyarakat luas, riset ini menjadi pengingat bahwa apa yang ditampilkan di Instagram sering kali hanyalah versi terbaik atau manipulasi visual, bukan realitas sebenarnya.
Azlin Nisa berharap penelitian ini bisa menjadi landasan untuk upaya preventif, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat. “Mahasiswi perlu dibekali pemahaman tentang body image positif dan pentingnya menerima diri sendiri. Literasi digital juga harus ditingkatkan agar generasi muda lebih kritis dalam menggunakan media sosial,” sarannya.
Penelitian ini pun menyarankan agar lembaga pendidikan maupun praktisi psikologi dapat mengembangkan program konseling, seminar, atau workshop yang mendorong mahasiswa mencintai diri sendiri tanpa harus terjebak pada standar kecantikan media sosial. Dengan demikian, kesehatan mental mahasiswi bisa lebih terjaga di tengah derasnya arus informasi digital.
Melalui risetnya, Azlin Nisa berhasil menunjukkan bahwa dunia digital bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga medan yang memengaruhi identitas dan kesejahteraan psikologis penggunanya. Perbandingan sosial yang berlebihan di Instagram bisa menjadi jebakan yang merugikan, jika tidak diimbangi dengan kesadaran dan penerimaan diri.
Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya sikap kritis dalam bermedia sosial: jangan sampai standar kecantikan digital mengikis rasa percaya diri. Karena pada akhirnya, keindahan diri bukan ditentukan oleh jumlah like atau filter yang dipakai, melainkan oleh penerimaan dan penghargaan pada diri sendiri. (ed: Adella)
sumber: repository UNIMMA