Magelang, 29 Agustus 2025 – Dalam ranah hukum pidana Indonesia, hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru membawa angin perubahan yang tak hanya bersifat normatif, tetapi juga menyentuh aspek keadilan substantif. Salah satu kajian akademis yang menyoroti hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rita Salmahusna, yang mendalami persoalan “Norma Prinsip Penjatuhan Pidana dalam KUHP Baru dan KUHP Lama”.
Tema penelitian ini mengerucut pada perbandingan bagaimana prinsip-prinsip dasar dalam menjatuhkan pidana diformulasikan dalam KUHP lama yang berakar pada warisan kolonial Belanda, dengan KUHP baru yang lahir dari semangat reformasi hukum nasional. Rita berusaha mengupas apakah kehadiran KUHP baru benar-benar menghadirkan penyegaran nilai-nilai hukum yang lebih adil dan humanis, atau sekadar mengganti rumusan normatif tanpa perubahan mendasar.
Tujuan penelitian ini jelas: pertama, untuk menganalisis perbedaan prinsip penjatuhan pidana antara kedua rezim hukum tersebut; kedua, untuk menelaah sejauh mana KUHP baru berhasil membawa paradigma pemidanaan yang lebih modern, progresif, dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial di Indonesia.
Hasil penelitian Rita menunjukkan adanya pergeseran mendasar dalam filosofi pemidanaan. KUHP lama, yang selama puluhan tahun menjadi acuan, lebih menekankan pada sifat retributif—pidana sebagai balasan atas kesalahan. Norma penjatuhan pidana dalam KUHP lama cenderung kaku, dengan pola pemidanaan yang seragam tanpa terlalu mempertimbangkan faktor individual terdakwa.
Sebaliknya, KUHP baru membawa orientasi yang lebih luas. Rita menyoroti bahwa dalam KUHP baru terdapat upaya nyata untuk mengedepankan aspek keadilan substantif, dengan memperhatikan latar belakang sosial, kondisi personal, serta dampak pidana terhadap masa depan pelaku. Dengan demikian, pemidanaan tidak semata menjadi “hukuman,” tetapi juga sarana korektif yang mempertimbangkan reintegrasi sosial.
Meski demikian, penelitian ini juga mengungkap catatan kritis. Rita menilai bahwa meskipun secara tekstual KUHP baru telah menghadirkan prinsip yang lebih progresif, tantangan utama tetap berada pada praktik peradilan. Bagaimana hakim menafsirkan dan menerapkan norma-norma tersebut akan sangat menentukan arah pemidanaan ke depan. Ia menekankan pentingnya konsistensi aparat penegak hukum dalam memahami semangat KUHP baru agar perubahan tidak berhenti pada level teks undang-undang.
Selain itu, Rita juga mencermati bahwa KUHP baru mencoba memperluas cakrawala keadilan dengan mengakomodasi perkembangan sosial dan budaya Indonesia. Prinsip pemidanaan tidak lagi semata-mata berorientasi pada kepentingan negara, melainkan juga menimbang kepentingan korban dan masyarakat luas. Di sinilah letak pembeda paling menonjol antara dua KUHP tersebut.
Pada akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun KUHP baru belum sepenuhnya sempurna, keberadaannya merupakan langkah maju dalam meletakkan dasar keadilan pidana yang lebih humanis. Penjatuhan pidana kini diarahkan bukan hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga memberi ruang bagi perbaikan diri pelaku dan pemulihan bagi korban.
Dengan sorotannya yang tajam, Rita Salmahusna berhasil menunjukkan bahwa perubahan KUHP bukan sekadar perkara legal drafting, melainkan refleksi atas dinamika sosial-politik bangsa. Karya ini sekaligus menjadi pengingat bahwa hukum tidak pernah berdiri sendiri; ia harus senantiasa berpihak pada manusia dan kemanusiaan. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA